Wednesday 23 February 2011

Bibir Ungu Jo


JOYCE perempuan tiga puluh tahunan bertubuh langsat sintal, berdada gempal, ibu dari dua anak perempuan lima dan tiga tahun, berniat menjual Pay, suaminya yang sudah mendekati satu kali putaran pemilu menganggur. Selama ini dialah yang bekerja sebagai detailler (sales obat) untuk menafkahi keluarganya. Pekerjaan dia mengharuskannya keluar masuk apotek atau rumah sakit atau tempat-tempat praktek pribadi dokter, untuk menawarkan produk obat yang telah ditarget penjualannya oleh perusahaan. Yang demikian, dia acap menemui masalah, mulai dari persaingan sesama teman seprofesi, kian menjamurnya produsen obat, sampai rayuan ‘ranjang’ para dokter, atas nama ‘jasa’ kontrak pembelian merk obat bawaannya; terutama mereka dokter paruh baya yang lebay dan cenderung tebar-gairah.



Pay adalah mantan anggota DPRD, wajah dia ganteng, macho, tubuh atletis dengan bulu rambut subur di lengan, dada dan paha, tapi karena pencalonannya dalam pemilu lalu gagal mendulang suara cukup, menyebabkan dia gagal menjadi anggota legeslatif yang terhormat, yang otomatis dia kehilangan pekerjaannya. Padahal uang yang dihabiskan untuk prosesi itu nyaris seratus persen dari tabungan dia selama menjadi anggota DPR sebelumnya. Yang lebih mengenaskan lagi, imbas atas kegagalan itu, pucuk pimpinan parpol tempatnya mengabdi, menganggap dia tidak bisa ‘membesarkan’ partai, makanya dengan semena-mena Pay lantas dicoret dari struktur kepengurusan elite partai. Reputasinya pudar, goodwill dia pupus! Dia sangat kesulitan mendapatkan pekerjaan, meski dia telah gigih berupaya baik melalui cara formal, maupun dengan jalan menggunakan nama ketokohannya saat dia menjadi pejabat politis atau pengurus elite parpol tersohor. Apalagi selama ini keahliannya cuma berorasi, berteori, berdeskripsi, berpetisi, berproduk janji, berpolemik, yang notabene dimensinya adalah lisan dan sama sekali bukan tindakan.


JOYCE bersikukuh, bahwa Pay suaminya harus dia jual dan kudu laku serta musti laris, demi mendapatkan uang pemenuhan kebutuhan rumah tangganya. Permintaan itu sudah dia sampaikan ke suaminya. Pay tentu saja geram, martabatnya serasa dicabik-cabik, harga kelelakiannya seolah diludah-ludahi dan itu dilakukan oleh Joyce, istri sah satu-satunya.
“Kenapa lo!” dengus Jo saat dia tahu suaminya tersindir yang teramat sindir oleh permintaan musykilnya, “Keberatan? marah? mau tampar gua? mau hajar gua!”
“Gua mau bunuh lo, Joyce Ambar Prabandari!!!”
“Bunuuuuhhh!”
Sontak tangan kiri Pay cekal lengan kanan Jo sembari tangan kananya jambak rambut istrinya. Joyce paham benar jika suaminya, sekarang ini tengah berada pada titik puncak kemarahan, ---laki-laki mana dan terlebih lagi, suami mana yang tak merasa terinjak harga diri mendengar permintaannya--- makanya sedikit pun dia tak melawan. Pay membelakangkan tangan Jo dan bersamaan itu, dia dongakkan wajah istrinya dengan cara menarik jambakannya ke belakang. 



“Lo pikir gua takut untuk bunuh lo!” bentak Pay mendelik.
“Ya sudah! lo tunggu apa lagi? gua juga sama sekali tak takut mati!” jawab Jo menantang meski sambil terengah, “Memangnya cuma laki-laki yang bisa jual istrinya dengan menjadikannya babu, wanita panggilan, TKW atau atas-namakan seragam dinas macam Satpol P.P. lantas seenaknya angkut lonte jalanan ke truk bak terbuka layaknya limbah pabrik!” Jo semakin terengah memuntahkan uneg-unegnya, “Atau seperti gua yang jajakan obat dan tak jarang kena rayu, kena colek, diharga-hargai atau ditawar-tawar atau …”
“Cukup!” bentak Pay dengan suara lebih keras dari bentakan dia sebelumnya, “Dasar! kebanyakan baca tabloid abangan lo!”



Sementara itu, dari kamar tidur tengah, terdengar sesenggukan tertahan dua bocah yang sebenarnya akhir-akhir ini telah terbiasa melihat pertengkaran maut dua orang tua mereka.
Pay dan Joyce bukannya tak tahu itu, tapi murka egoisme mereka masing-masing agaknya lebih penting untuk sama-sama mereka muncratkan ketimbang sekedar meredamnya demi tidak mempertontonkan adegan yang sebenarnya tidak layak diperagakan pada jarak kedekatan anak-anak seuasia anak-anak mereka.
“Kenapa diam lo Pay?” tanya Jo sedikit menyeringai melihat suaminya cuma mencekalnya, “Lo terganggu dengan isak tangis Al dan Ken?! Telat Pay telaaattt … mereka sudah terbiasa, mereka sudah sangat terlatih melihat kita perang!”
“Tidak sekarang Jo! Al dan Ken tidak boleh tahu kalau ayah mereka adalah yang membunuh mati ibunya,” tandas Pay gemetar geregetan meredam angkara.



Mendengar suaminya bertutur limbung seperti itu, sontak Jo menyeringai dan sebentar kemudian tertawa, “Gua semakin mantap untuk menjual lo Pay, nyali saja bahkan sudah tak ada pada lo, sekarang lepaskan gw atau kita biarkan anak-anak semakin tahu bahwa orang tua mereka tengah benar-benar berhantam, karena jika tak kau lepas, gua akan melawan lo dengan sengit!”
“Tengah malam nanti, gua akan benar-benar bunuh lo, Jo!”
Begitu Pay melonggarkan cekalan dan jambakannya, Jo langsung lepas dan menghambur menuju kamar tidur dimana kedua anaknya sembunyi ketakutan, tersengal menahan tangis yang seharusnya beberapa saat lama lalu mereka tumpahkan.



PAY pulang entah pukul berapa, yang pasti malam telah begitu legam dan sepanjang deretan rumah komplek perumahan tempatnya tinggal sudah demikian senyap.
Dia sendiri sebenarnya sudah lupa akan pertikaiannya dengan Jo, juga terhadap tekadnya yang hendak membunuh istrinya tengah malam ini. Apalagi nyaris separuh hari tadi, dia asyik ditraktir ke tempat bilyard dan karaoke oleh pengusaha konstruksi yang dia kenal dulu dan acap berkolusi proyek, saat dia menjadi anggota DPRD.
Ingatannya tentang pertengkaran siang tadi mendadak muncul saat dia masuk rumah dan menjumpai Jo tengah tidur lentang di depan rak televisi.


Sejujurnya dia masih mengagumi keelokkan istrinya itu, apalagi dua batang lampu neon yang belum dimatikan, sinar putihnya pas memayungi lentangan tubuh Jo. Separuh gaun tidur yang singkap pas pada paha kanan, buntalan dada yang menggunung dan lengkung pasrah bibir kenyal itu … oh!
Tapi tidak, dia akan berhitung dengan Jo, malam ini juga.
Klek! Tangan Pay menekan satu saklar; mematikan satu lampu neon ruang tengah rumahnya dan membiarkan satu neon lainnya tetap menyala. Perlahan dia rebahkan tubuhnya di sisi Jo yang telah berubah posisi rebah agak melengkung miring. Di seberang ruang tengah; kamar tidur Al dan Ken telah tertutup, dari lubang angin di atas pintu tampak gelap, senyap.



Pay telah rebah sangat dekat dengan Jo, dalam keadaan seperti sekarang ini, dia tampak benar-benar berkuasa atas istrinya itu. Dia bisa langsung tebas dengan golok membacok leher, perut atau bagian manapun yang dia suka, atau dengan jalan mencekik batang leher Jo, atau dengan membungkam mulut, hidungnya menggunakan handuk kecil yang biasa dia pergunakan untuk lap sehabis bercinta.
Pay ternyata bukan hanya menimbang-nimbang dengan cara apa atau lewat bagian tubuh mana dia akah habisi Jo, tetapi dia juga terkagum-kagum bahwa betapa awet-moleknya Jo istri yang rata-rata dua hari dalam seminggu selama tujuh tahun dia gulung-gulung gumuli, masih menampakkan kenyarissempurnaan pesona.



Tiba-tiba Jo menggerakkan tubuhnya, membuka pejamnya, “Baru pulang lo Pay,” tukas Jo asal lantas merapat ke kuping Pay, sudah barang tentu Pay tergelagap, “Lo jadi bunuh gua malam ini kan?”
Pay siniskan senyum, “Pasti!” jawab dia tandas.
“Ya! tapi mohon kabulkan satu permintaan terakhir gua Pay”
“Lo pikir kita lagi main sinetron picisan?”
“Lo tahu, gua sama sekali buta itu! Tolong, kali ini kabulkan dan setelah itu lo berhak melakukan apa pun terhadap gua, termasuk … bunuh gw!”
“Apa?”
Joyce mengubah lagi posisinya, kali ini duduk berhadapan dengan Pay. Dengan dua tapak tangannya di pegang pipi Pay, “Sore tadi gua udah dapatkan pembeli yang mau pakai lo!”
“Istri bangsat!!!”
“Sssttt … dengar dulu plisss … “ tutur tenang Jo, ademkan marah suaminya, “Kami sudah bersepakat masalah harga dan tempat dimana lo musti temui dia. Janji!!! ini permintaan terakhir gua dan setelahnya … lo adalah malaikat maut gua!”



Jo beranjak membuka laci di bawah rak televisi dan mengambil selembar kertas yang dia selipkan di halaman buku telepon, “Besok malam, tidak lebih pukul delapan wanita itu menunggu,” Jo lalu menggenggamkan kertas itu ke tangang kanan Pay, “Nama dia dan alamat hotel ada di kertas ini”
Pay cuma membatu, apalagi tadi ketika istrinya menyerahkan kertas tersebut, dia sempat mengecup bibirnya sebelum beranjak menuju kamar tidur Al dan Ken. Dimasukkannya kertas dari Jo ke saku belakang tanpa terlebih dulu dia baca isinya.



PAY teramat kaget membaca nama wanita yang tertulis pada kertas dari Jo, “Semoga benar-benar dia!” gumam Pay entah geram, entah heran.


Room 1829; “J.N.” Hotel
Seorang wanita yang tidak lagi muda, mengenakan gaun tidur transparan membuka pintu kamar sembari menyungging senyum.



“Yes!!!” lonjak hati Pay girang bukan kepalang. Dia sangat mengenal wanita kemayu itu, meski wanita itu sama sekali tak mengenalnya. Otak Pay langsung merencana adegan liar dan brutal yang hendak dia lakukan berulang-ulang dalam memperlakukan wanita itu. Dia sama sekali tak akan mempedulikan apakah nantinya wanita itu terpuaskan atau sebaliknya malah tersakitkan oleh hujaman jangkar-kekar yang hendak dia tancap-tancapkan, yang hendak dia hujam-hujamkan sebrutal-brutalnya, seliar-liarnya.



Pada otak hati Pay cuma ada dendam yang paling kesumat terhadap satu nama: Augustinus Suwignyo!!! anggota DPR sekaligus Sekretaris Dewan Pimpinan Pusat partai politik anutannya, yang telah memperlakukan dia semena-mena; menandatangani surat pencoretan nama dia dari kepengurusan elite Dewan Pimpinan Daerah parpolnya dan … wanita ini adalah … istri sahnya!!!


DI tempat lain, Jo sang istri sebisa-bisanya memeluk dua buah hatinya; Al dan Ken. Jo juga sekuat mungkin membuang jauh-jauh reka-reka bayangan Pay yang tengah berlabuh dan entah berapa kali mengerang yang dia hapal sekali raumannya. 



Dia bukannya sudah tak lagi memiliki naluri keperempuanan, sehingga menuntut paksa suaminya menjual diri dengan alasan mendapatkan seberapa uang. Bukan dan tidak semata-mata itu kenyataannya. Betapa dia semenjak entah kapan dan terlebih lagi ketika Pay suaminya tak lagi mempunyai pekerjaan, kejiwaan dia serasa sering keluar raganya tanpa bisa dia kendalikan, dia menari-nari liar kangkangi kalbu seraya meledek benaknya.



Tentang ingatan jelas ketika ayah tirinya dulu; saat dia usia SMP, mengendap masuk kamar tidurnya dan lantas merobek keperawanannya dan berulang-ulang menjadi serupa kewajiban yang sangat menakutkan, sebelum semuanya berakhir saat ayah tirinya yang sopir trailler mati kecekaan. Atau ketika pamannya yang pejabat Pemerintah Kabupaten, yang menjanjikan dia pekerjaan selepas tamat D3 dan ternyata mensyaratkan dirinya untuk merelakan ‘rongga-paha’nya. Atau ketika tragedi Mei 1998 dimana dia dan anak bungsu bos-China tempatnya bekerja saat itu, secara massal diperkosa di atas meja kerjanya.



Jo sangat geram, dia masih mencoba tersenyum, meski sangat pahit. Bibirnya yang telah sejak tadi dia gigit-gigit dengan gigi-gigi depan bergantian atas dan bawahnya, telah berwarna ungu semu hitam. Dua matanya lebam, demikian halnya hatinya.



*nama, tempat, dan kejadian hanya rekayasa semata



Tegal, 01.120910
(wilu)