Thursday 24 February 2011

Kucing Fir'aun




SELESAI ziarah ke makam keluarga pada hari pertama lebaran kemarin dan pada saat hendak beranjak pulang, saya tertarik pada tas produk sebuah mall terkenal ibu kota yang tergeletak pada kijing di dekat makam nenek. Sempat kubaca tulisan pada nisan makam: “Musa, lahir 28 Pebruari 1957, wafat 29 Pebruari 2000” dan karena kemasan tas itu rapi, bagus, maka kuambil dan saya serahkan Ezra; anak sulung saya untuk menentengnya dan berniat kubawa pulang, sukur-sukur, siapa tahu dalam perjalanan, bertemu pemiliknya yang mungkin alpa. Tapi baru keluar dari gerbang komplek pemakaman, Ezra, setengah berteriak..


“Abiii! takut! kucing matiii … “ sembari dilemparnya tas yang sedari tadi dicangking dia sehingga tampaklah separuh badan kucing berwarna hitam, berlumur darah yang pada lehernya terdapat luka.
“Sepertinya luka bekas disembelih,” gumam saya dalam hati setelah sejenak mencermati bangkai kucing naas itu. Sengaja saya tak mengucapkan itu meski pun lirih, lantaran tak ingin dua anak saya mendengar. Kami memang cuma bertiga ke pemakaman, karena Devi; istri saya musti berangkat kantor, maklum dia kerja di rumah sakit yang jam kerjanya menggunakan sistem shift dan tak kenal tanggal merah.
“Matanya mendelik Bi!” teriak Alle mendekap saya.
“Mulutnya mangap Le!” tuding Ezra memegangi lengan Alle.
“Sudah, sudah, kita bawa saja kucing ini”


Terus terang, saya sebenarnya benci pada hewan satu ini, tapi melihat kondisi luka lehernya yang sampai terlihat belahan dagingnya dan cuatan putih tulangnya, saya jadi agak iba untuk meninggalkannya begitu saja.
“Ayo, naik, cepet!” seru saya setelah menaruh tas berisikan kucing mati di bagasi belakang mobil.


SELAMA lebih-kurang lima tahun saya memiliki mobil ini, baru sekali inilah mogok, padahal pada sepuluh hari terakhir Ramadhan kemarin, baru saya service mesinnya dan ganti semua olinya. Yang lebih menyebalkan lagi, mobil mogok pas di jembatan jalan pantura yang masih terlihat padat, meski lebaran hari pertama. Sudah berulang-ulang saya starter dengan meraba-raba sehalus mungkin, seimbangkan injakan antara gas dan kopling, namun tetap saja tak berhasil hidupkan mesin. 


Saya turun dan menyuruh anak-anak tetap di dalam. Saya buka kap dan mencek mulai busi, radiator dan lain-lain yang saya yakini sebagai biang mogok. Semuanya bagus dan normal. Saya sudah kehilangan jurus dan mampus dahhh!!! telepon tukang service bengkel, tak satu pun mau abaikan kekesalan saya.
“Maaf lahir batin ya Pak, lebaran soalnya, lagi kumpul keluarga, tiga hari setelah lebaran deh, saya kerjakan”
“Tiga hari gundhulmu krowak!!! terus kamu suruh saya lempar mobil ini ke sungai?!”
“Telepon polantas Pak, biar ditarik sampai rumah,” jawab tukang service menyarankan.
“Kalau begitu sih, saya tak perlu repot-repot telepon kamu!” sahutku kesal dan memencet tombol merah HP.

Karena tak tahu harus bagaimana lagi, untuk sementara saya biarkan mobil parkir di pinggir jembatan jalan pantura, setelah kupasang di depan dan di belakangnya rambu segitiga merah.
“Abi, Alle panas nih!” keluh si bungsu sambil mengeluarkan kepala dari jendela.
“Keluar ya Bi!” teriak si sulung menyambung.
Saya mendekati mereka, “Sabar ya sayang, kipas-kipas dulu pakai koran dan tidak boleh keluar!” kata saya lembut membujuk, “Itu ada air mineral, minumlah kalau haus.”


Untuk meringankan rasa kesal, saya mencoba menyulut rokok dan berdiri di sisi tulang baja jembatan sembari melempar pandang ke arah sungai yang aliraannya cukup deras. Airnya coklat, keruh. Sekeruh nasib rakyat miskin yang repot-repot mematuhi himbauan pemerintah beralih menggunakan bahan bakar gas untuk dapurnya, tapi malah mati konyol terkena ledakan tabungnya. Sekeruh nasib republik ini yang tak berdaya menerima bertubi-tubi hinaan dari negeri kecil tetangga. Sekeruh otak, hati para koruptor negeri ini yang menggasak uang rakyat demi memperkaya diri, keturunan dan kroni-kroninya. Sekeruh nasib kucing hitam yang tergolek di bagasi mobil.
“Sekeruh juga nasib kamu yang kehilangan anak perempuan bungsumu, Wilu!”
Busyet!!!
Suara ejekan siapa itu?
Darimana?
Tidak begitu keras tapi sangat jelas, sehingga mengalahkan suara lalu-lalang kendaraan.
“Meooongngng!” sekonyong-konyong terdengar suara kucing yang mirip kucing sedang tarung atau tengah kawin. Demikian kerasnya sampai sepertinya menggema di kolong jembatan.


“Abiii kucingnya bunyi!” teriak Ezra dan Alle kompak sambil memukul-mukul kaca jendela mobil; ketakutan.
Saya berlari menuju mobil, membuka pintu dan mendekap kedua pewaris terhebat saya, “Ya, Abi tahu, Abi juga mendengar, tapi itu bukan kucing mati yang di bagasi kok!” rayu saya sambil mengelus-elus kepala keduanya.
“Tapi suaranya keras dari belakang mobil!” sungut Alle dengan mimik meyakinkan.
“Abi bohong, di jalan raya ini mana ada kucing yang lain lagi … “ Ezra memprotes dengan memainkan logikanya.
Entah untuk ke berapa kalinya saya dibuat bingung dengan reaksi pikir anak-anak saya yang kian bertambah usia, acap membuat saya terbengong heran tak menyangka.
“Ya sudah, kalian tunggu di sini ya … awas jangan ada yang ke luar mobil, jalan ramai loh!”
“Abi mau ke mana?”
“Melihat kucing tadi,” sahut saya membuka pintu, “Janji, Abi tidak lama dan janji juga! Abi tak akan bohong, kalau ternyata kucingnya hidup, berarti kalian yang benar, tapi jika kucingnya tetap mati, berarti kalian harus bisa lupakan suara tadi dan anggap itu suara klakson bus yang tadi lewat”
“Abi ngarang! memangnya ada bunyi klakson seperti itu?” lagi-lagi Ezra memprotes, tapi kali ini tak saya tanggapi.
Betapa kaget ketika saya lihat bangkai kucing yang tadinya mendelik, menganga dan berlumur darah, ternyata telah berganti wujud dan ekspresi.
“Subhanalloh!!!”


Kucing hitam itu memang tetap mati, tapi sama sekali sudah tak ada darah, pun di semua sisi dan selip tas wadahnya, tak tampak sedikit pun bercak. Matanya kini pejam dan mulutnya berganti tersenyum, oh bukan! bukan! bukasn! tidak tersenyum, tapi menyeringai dan anehnya, saya merasa seringai dia itu ditujukan ke saya.
Entah dorongan apa atau darimana itu, tiba-tiba tangan saya menutup tas itu rapat-rapat dan mengunci singset menggunakan dua tali cangkingannya lantas mengeluarkannya dari bagasi mobil, membawanya menuju sisi jembatan dan … berrr!!! membuangnya ke sungai.

Sempat sebentar saya lihat tas itu masih terkunci oleh simpul mati talinya. Kekhawatiranku jika bangkai kucing lepas keluar ternyata tidak terjadi.
Tak lama kemudian, saya benar-benar mencoba tidak peduli dengan apa yang baru saja saya lakukan.
Saya bergegas kembali ke mobil.
“Abi, ayo pulang!”
“Ezra juga bete nih!”
Kedua pangeran kecil saya sama-sama mengeluh, “Iya, iya sayang, kita coba nyalakan ya … bismillaahirrokahmaanirrokhiimi … “
Dan ajaib!!!
Mesin mobil langsung menyala.
“Yes!!!” seru Alle dengan tangannya diangkat, mengepal erat dan lengkungkan dua jempolnya.



Dalam perjalanan pulang, Ezra sempat mengeluh, “Abi, harusnya kucing yang mati tadi dibawa saja ke rumah saja, biar nanti dikubur di halaman bawah pohon Mangga … kata guru agama Ezra, kucing itu binatang kesayangan para nabi loh Bi”
“Tapi kucing tadi itu bukan kucing nabi, tapi kucing Fir’aun!”
Saya lihat Ezra masih mau mendebat, tapi buru-buru saya ingatkan, “Sssttt ... Abi lagi nyetir, di pelajaran Pramuka dikasih tahu kan peraturan lalu-lintas?”



SAYA bersyukur, sampai sekarang, dua anak saya tidak pernah menyinggung-nyinggung lagi cerita tentang bangkai kucing hitam yang kami temukan di makam dan saya buang ke sungai jalur utama jalan pantura.
Pun terhadap bundanya, mereka sama sekali tidak bercerita apa pun. Buktinya hingga seminggu setelah kejadian kemarin, Devi tak pernah menanya hal-hal yang berkait dengan itu.
Sekali-sekalinya pertanyaan adalah dari Ezra, begitu kemarin sampai di rumah, “Kok tadi Abi bilang itu kucing Fir’aun?”


Meski agak terhenyak, tapi saya berusaha menjawabnya santai, “Waktu Abi lihat, ternyata di perut kucing hitam kemarin ada bulu belang putih persis huruf F … “
“Nama Farel juga depannya pakai huruf F, kan Bi?”
Lagi-lagi si sulung membuat saya tertohok, “Loh, tapi adikmu itu kan panggilannya Alle, jadi tidak bisa pakai huruf F dong, kalau Fir’aun kan panggilannya juga Fir’aun,” jelas saya asal, “Dan lagi, kalau Ezra ingat, kantong kucing itu dulu, Abi temukan di atas kuburan ... “
“Musa!” tukas dia memenggal fakta asal-asalan saya, “Ezra sempat baca tulisan di batu nisannya, Bi”
“Nah, maka dari itu … ada Musa ya ada Fir’aun … “
Saya tahu, betapa waktu itu Ezra sebenarnya masih tidak puas dengan argumen saya, tapi karena tak lama kemudian telepon rumah berdering, saya suruh saja dia cepat-cepat mengangkatnya, semata-mata untuk mencegah pertanyaan-pertanyaan kritis dia atau setidaknya menghindarkan diri saya yang terus-menerus membuat argumen ngawur.

HARI ini adalah tanggal sembilan Syawal yang berarti bertepatan dengan hari Minggu. Lagi-lagi, Devi istri saya tetap harus berangkat kerja, karena dia memang mendapat shift pagi, sedang anak-anak, seperti minggu-minggu biasanya lebih senang mengunjungi eyang mereka yang menurut saya memang memperlakukan Ezra dan Alle sebagai cucu-cucu emas mertua saya tersebut.
Libur tapi sepi sendiri di rumah, membuat saya cuma membaca buku-buku puisi, cerpen atau novel yang dikirimpaketkan oleh penulis-penulis yang sebagian mereka adalah teman-teman facebook.
Bosan membaca, biasanya saya buka P.C. atau notebook, tancapkan konektor antene wi-fi, membuka internet untuk main poker.

SEKITAR pukul 15.00, ada becak berhenti di depan rumah; Devi istri saya pulang. Dia memang tadi sempat menelpon, minta agar saya tidak usah menjemputnya.
Saya sempat melihat dari jendela, istri saya tidak hanya menjinjing tas kerjanya, tapi juga menggendong sesuatu. Saya heran, dari cara dan kain yang dipergunakan untuk menggendong, dia seperti menggendong bayi.
“Maaf, terlambat pulang Mas” jelas dia tergopoh masuk rumah.
“Itu … ?!“ belum sempat menanyakan tentang apa yang dia bawa, Devi menjawab, “Justru, gara-gara ini Mas, saya telat pulang. Kasihan kucing ini, tadi sempat menggelepar di tengah jalan berlumuran darah, tak tahu apa karena tergilas mobil atau digigit anjing … saya sungguh tidak tega, jadi saya balik lagi ke rumah sakit dengan membawa kucing luka itu ... untung dokter Wahyu belum pulang dan mau menjahit lukanya … ” jelas Devi lantas menaruh buntalan selimut bayi yang ternyata berisi kucing, di sofa panjang ruang tengah.


Dia bergegas ke belakang tanpa memperhatikan saya yang sontak kaget.
Bukan cuma kaget sebenarnya, tapi sangat heran, bahkan.
Pada benak saya, teringat jelas pengalaman bangkai kucing pada pas lebaran kemarin.
“Tolong titip dijaga kucingnya ya Mas, barangkali sudah siuman dari pengaruh biusnya!” seru dia dari kamar mandi. Saya sama sekali tak menjawab. 
Dengan mengendap-endap, saya mendekati apa yang baru saja Devi taruh dan kemudian pelan-pelan saya singkap kain selimut pembuntalnya. Kucing hitam!!!


Serasa ada sabetan kencang samurai menyambar tipis sekujur muka saya.
Terlebih lagi ketika saya buka bral seluruh selimut yang membalutnya.
Kucing hitam dan … pada perutnya terdapat bulu belang warna putih persis huruf F …
“Kucing Fir’aun!!!” seruku terlonjak kuat, tapi juga tertahan dengan kekuatan yang nyaris sama.
Keringat dingin langsung mengembun di kening dan leher saya. Apalagi ketika mendadak kucing itu membuka matanya, menatap saya sangat tajam dan mulutnya, oh! mulut kucing itu … entah tersenyum, entah menyeringai, yang jelas, itu sama persis dengan polah laku bangkai kucing hitam yang tempo hari saya buang ke sungai pantura. Apalagi ketika matanya, dia kerdip-kerdipkan seolah mengejek saya.


Dan …
“Meooongngng!!!”
Lengking yang juga sangat sama persis …



Tegal.03.19092010
(wilu)